Banjararum cukup berpotensi, karena lahan pertaniannya yang subur dan
cukup luas, dengan sumber air yang terbilang melimpah. Karena terletak di
bantaran Bengawan Solo dan juga dilewati aliran Kali Beron, pengairan
untuk lahan pertanian bisa diperoleh dengan pompanisai dan irigasi. Desa
yang sejak 2013 dipimpin oleh kades perempuan yang bernama Nunung Anifah
ini pernah memperoleh penghargaan sebagai desa terbaik dalam perlombaan
Desa Hijau se-Kabupaten Tuban di tahun 2019. Memiliki luas sekitar 2,13
km2 dan berpenduduk kurang lebih 3.622 jiwa, Banjararum memiliki wilayah
yang potensial untuk pertanian, pertambangan pasir, peternakan dan
perikanan.
Di Banjararum terdapat tiga buah masjid yaitu Masjid Al Anwar di Dusun
Blimbing, Masjid As Syukur (khusus jamaah LDII)
yang terletak di Dusun Karoman, dan Masjid Roudhotul Abror yang peletakan
batu pertama pembangunanya baru di tahun 2016 dan berlokasi di perbatasan
Dusun Boro dan Desa Prambon Wetan. Masjid Al Anwar merupakan masjid
pertama dan tertua di desa tersebut. Masjid ini memiliki sejarah cukup
panjang seiring dengan berkembangnya Islam di Desa Banjararum sendiri.
Selain menjadi saksi tumbuhnya Islam, Masjid Al Anwar juga merupakan cikal
bakal dari Pondok Pesantren Karoman yang dirintis oleh Mbah Anwar dan
mengambil tempat di sekitar masjid. Pondok Karoman yang asalnya tidak
mempunyai nama, sebagaimana lazimnya waktu dulu nama pondok cuma ditautkan
dengan nama kampung atau desa tempat berdirinya, kemudian diberi nama
Pondok Pesantren Mamba'ul Huda Karoman. Pemberian nama ini di masa KH.
Abdurrohman Sholeh (menantu KH. Anwar yang pernah bermukim lama di
Banjararum, sekitar 1960-1971, dan sekarang mengasuh PP. Mamba'ul Huda
Desa Panyuran Kecamatan Palang). Pesantren ini mengalami penurunan bahkan
kevakuman setelah Kyai Abdurrohman berpindah ke Panyuran dan setelah
ditinggal wafat K. Asymuni di tahun 1992. Baru di tahun 1998 oleh K.
Nurhadi (putra tertua KH. Anwar) sepulang anaknya yang bernama Ahmad
Damanhuri dari Pondok Tanggir, dirintislah kembali di Dusun Boro kegiatan
mengaji Al Qur-an dan Diniyah untuk anak-anak
Banjararum dan sekitarnya. Kemudian di tahun 2002 ada beberapa santri dari
luar desa yang tinggal di gothaan santri sehingga dihidupkan kembali
kegiatan pesantren. Ponpes tersebut diberi nama Manbaul Huda untuk
meneruskan visi misi pesantren lama dan sekarang biasa disebut PP. Al Hadi
setelah berdirinya lembaga formal SMP Plus Al Hadi
( 2009) dan SMK Al Hadi (2012).
Para kyai dan pengurus ta'mir Masjid Al Anwar sudah tiga kali melakukan
renovasi bangunan secara total sejak berdirinya, yakni pada sekitar tahun
1900 -an. Pertama kali di tahun 1950-an. Awalnya masjid tersebut masih
berupa Langgar (mushola) dengan bangunan kayu berdinding bambu/gedhek.
Dalam renovasi total yang pertama ini diadakan peluasan bangunan,
dindingnya diganti papan dari kayu dan lantainya masih tetap plester.
Setelah meletusnya G 30 S PKI pada tahun 1965
( juga diketemukan dokumen rencana penculikan
sembilan tokoh NU Banjararum) terjadi pertambahan jamaah yang cukup
banyak, akibat kesadaran warga yang sebelumnya anti masjid, maka
ditambahlah ruangan papan kayu di selatan masjid. Kemudian dalam renovasi
kedua, di tahun 1983-1984 (masa K. Nurhadi dan K. Asymuni dan bendahara
Zainal Arifin dan Muntari dengan dukungan H. Mahsun Ronggomulyo -Tuban)
mulai dindingnya diganti dengan batu bata dan lantainya dari tegel warna
kuning meskipun tidak mengalami perluasan yang berarti. Akhirnya dalam
renovasi ketiga secara besar-besaran yang dilakukan pada tahun 2006-2008
(masa Kyai Sudarmaji dengan Ketua Ta'mir H.Moh.
Darum dan Mbah Modin Mohdi) lantai dinding dan lantai bawah sudah
menggunajan batu granit. Bangunan masjid semakin luas ketika tahun
2014-2016 ditambahkan bangunan sayap selatan. Dan di tahun 2020 ini baru
saja diselesaikan tempat wudlu dan toilet yang cukup luas dan
representatif sebagai rehab total tempat wudlu lama.
Sarat Sejarah
Waktu dulu, sekitar sungai Bengawan Solo merupakan sentral pemukiman
warga desa-desa yang wilayahnya dilintasinya. Bengawan Solo menjadi aspek
penting dalam runtutan sejarah desa-desa sekitar sungai itu karena sungai
sebagai jalur utama transportasi masyarakat. Begitu halnya dengan
Banjararum. Konsentrasi pemukiman dan pusat kegiatan kala itu ada di
wilayah sekitar sungai. Kegiatan ekonomi, peribadatan, dan kegiatan sosial
lainnya hampir semuanya berputar tidak jauh dari Sungai Solo yang menjadi
batas desa bagian selatan
Yang membuat posisi Masjid Al Anwar sekarang berada di pedalaman dan
pinggiran desa adalah faktor erosi bantaran sungai dimana "Brang
Kidul"(wilayah Bojonegoro) semskin bertambah dan "Brang Lor" terus
terkikis. Posisi masjid yang dulu jauh dari sungai, disebabkan sedikit
demi sedikit tanah "Brang Lor" (wilayah Tuban) runtuh dari tebing,
sehingga letak masjid sekarang ini tinggal kurang
100 meter dari bibir Bengawan Solo.
Sekitar masjid yang dulu masuk wilayah Karoman (ada pergeseran
batas-batas dusun setelah tahun 60-an) dan penuh dengan pemukiman warga
akhirnya warganya banyak berpindah.
Sebelum tahun 50-an, sebagian besar pemukiman warga terletak di antara
bantaran Bengawan Solo dan Kali Beron. Di sebelah utara Sungai Beron ada
jalan antar desa yang masih berupa tanah liat tanpa batu pengeras.
Sepanjang jalan di pinggir utara berjajar dengan rimbun pohon asam dan di
sisi selatan yang berhimpit dengan sungai kecil yang mengalir jernih itu
banyak ditanami berbagai pohon, seperti waru, _asem londo_ dan trembesi.
Di utara jalan adalah hamparan luas pesawahan yang merupakan sawah milik
desa.
Beralihnya pusat desa secara berangsur-angsur sejak awal tahun 50-an
dimana oleh Kepala Desa Banjararum pertama kala itu, Samuri/
H.Abdus Syukur melakukan kebijakan "pencar
karang" dimana penduduk yang sudah menikah dan masih menumpang di rumah
orang tua serta tidak memiliki tanah untuk perumahan, oleh desa diberi
sawah sepetak berukuran 20 m X 40 m untuk diurug dan didirikan rumah
pemukiman. Sejak itu perumahan di utara jalan desa semakin ramai dan kian
banyak seiring dengan peningkatan kualitas jalan desa yang pada gilirannya
berkembang menjadi jalur utama transportasi darat, meninggalkan
transportasi air di Bengawan Solo.
Sudah menjadi hal lumrah bahwa masyarakat pada zaman dulu sangat
menjunjung seorang yang berpendidikan, lebih-lebih yang menempuh
pendidikan agama dalam hal ini pendidikan pesantren. Kyai menjadi tokoh
penting yang bisa dikatakan harus ada di hampircsetiap desa di Pulau Jawa.
Tokoh agama atau kyai dijadikan tumpuan dan rujukan masyarakat dalam
memecahkan segala permasalahan kehidupan dari hal-hal yang kecil sampai
hal- hal yang besar. Selain mengajar dasar- dasar membaca Al Qur-an
dan agama, kyai juga bertugas memimpin berbagai ritual keagamaan dan
kegiatan budaya dan adat yang sudah di _islamisasi_ dengan penuh kearifan.
Kyai sebagai panutan dalam berbagai aspek kemasyarakatan, dan banyak
sekali peran yang dimainkannya sehingga tanpa sadar tercipta relasi yang
kuat bahkan tak jarang bersifat fanatis antara masyarakat dan kyai.
Apabila dalam suatu desa belum memiliki kyai maka biasanya ada inisiatif
dari desa ataupun dari orang-orang yang kuat secara strata sosial maupun
ekonomi untuk mendatangkan kyai ke desanya.
Masjid Al Anwar yang semula hanya sebuah langgar/mushola yang
dikembangkan oleh Mbah Anwar. Sebelum kedatangan Mbah Anwar, ada beberapa
tokoh yang kaya yang tinggal di sekitar Masjid dan di Desa Karoman seperti
Mbah H. Thayib yang kelak menjadi mertuanya Mbah Anwar. Ada Mbah
Hj.Sundari yang diperistri Mbah H.Masyhuri,
pendatang dari Bangilan. H. Masyhuri merupakan kakek dari Ir. H. Noor
Nahar Hussein, Wabup Tuban saat ini (2011- 2021). Adiknya Mbah Hj. Sundari
yang bernama Mbah Hj. Sujiyah dinikahi oleh Mbah H. Ridlwan yang juga dari
Bangilan. Mbah Sujiyah ini mempunyai putra yang bernama H. Masduki yang
pernah menjadi bendahara di PCNU Tuban. Pak Masduki mempunyai putri, Bu
Nis, istri mantan Wabup Tuban periode 2006-2011 yaitu H. Lilik Suhardjono.
Kemudian adiknya lagi bernama H. Thoha yang bisa dikatakan orang terkaya
di Karoman saat itu. Ketiga tokoh ini masih mempunyai pertalian keluarga
yang dekat dengan Mbah Shofiyatun putri Mbah Kasturi +Mbah Thayib.
Karena keinginan kuat Mbah Thayib agar di Banjararum ada kyai yang
mengajar ngaji, maka beliau mendatangkan santri muda bernama Fadhil yang
alim dari Desa Sarangan Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro. Kyai Fadhil
tidak lama di Karoman, kemudian pindah ke Tapang (Campurejo) yang terlatak
sekitar 1 km sebelah barat Karoman atas usaha Kepala Desa Tapang waktu
itu. Mbah Thayib sangat susah hati, karena Karoman mengalami kekosongan
guru ngaji lagi. Beliau mempunyai 2 anak, 1 putri bernama Shofiyatun dan
adiknya laki-laki yang bernama Kastaji. Putrinya yang bernama Shofiyatun
akhirnya dikirim belajar ngaji ke sebuah pesantren di Panyuran - Palang,
meskipun waktu itu anak perempuan mondok sangat langka dan belum lazim.
Kastaji dipondokkan di Pesantren Kasingan Rembang asuhan Mbah Kyai Kholil
Harun (mertua KH. Bisri Mustofa). Kastaji muda terkenal santri yang tekun
dan cerdas, waktu itu sudah ngaji kitab Syarah Asymuni 'ala Alfiyah ibnu
Malik, sebuah kitab nahwu, yang mana catatan pinggirnya yang disebut
Hasyiyah Shoban setebal 4 jilid (saya mendapatkan kitabnya Mbah Kastaji
ini) harganya di zaman kolonial sangat mahal, dua ekor sapi, bayangkan!
Namun Kastaji tidak berusia panjang, wafat ketika masih nyantri di
Kasingan. Mbah Thayib tentunya sangat sedih hati, anak laki-laki satu-
satunya yang diharapkan bisa membimbing dan mengajar ngaji masyarakatnya,
dikehendaki lain oleh Allah SWT Sang Pencipta. Mbah Thayib tinggal
mempunyai satu anak perempuan, suatu kali berucap "Shofiyatun tidak akan
aku kawinkan kecuali dengan santri yang mempunyai kitab se-gerobak".
Mbah Anwar (lahir sekitar tahun 1890 dan wafat 1970) bernama asli
Mustajab, putra dari Mbah Umar yang berasal dari Kampung Sengir Desa
Doromukti Kecamatan Tuban. Nama Anwar adalah pemberian Syehnya ketika haji
di Tanah Suci pada tahun 1953. Mustajab muda adalah santri yang ulet.
Beliau pernah menuntut ilmu di beberapa pesantren seperti Makamagung-
Tuban, Langitan, Maskumambang- Gresik, dan beberapa waktu di Pesantren
Syaechona Cholil Bangkalan. Akhirnya Mustajab dijodohkan dengan Shofiyatun
binti Mbah Thayib Karoman (+- 1918). Mbah Tajab membawa kitab- kitabnya
yang memang cukup banyak dalam gerobak/ cikar sebagai bentuk memenuhi
nadzar sang mertua.
Setelah di Karoman Mbah Anwar mengembangkan sebuah langgar yang nantinya
menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Al Anwar. Meski hanya langgar kecil
yang digunakan untuk mengajar ngaji, namun santri Mbah Anwar sudah
terbilang banyak kala itu. Konon Almaghfurlah Mbah Kyai Murtaji (Rais NU
Tuban) semasa muda sekitar ahir tahun 40-an
sampai tahun 50-an dan masih mukim di Desa Punggulrejo, (2 km sebelah
barat Banjararum) juga ikut membantu mengajar diniyah di pondoknya Mbah
Tajab. Santri-santri tersebut kebanyakan berasal dari Karoman sendiri dan
desa-desa sekitarnya, ada beberapa santri dari jauh. Disamping langgar
yang akhirnya digunakan untuk sholat jum'at itu didirikan bangunan
sederhana untuk menginap para santri dan sebuah rumah panggung dari kayu
yang juga berisi kamar-kamar santri.
Pengambilan nama Al Anwar untuk nama masjid adalah untuk mengenang Mbah
Anwar. Berkat jasa beliau desa Banjararum bisa terus berkembang hingga
saat ini. Beliau menjadi secercah obor di tengah masyarakat. Sebelumnya
masyarakat masih awam tentang agama. Kewajiban dan larangan syariat belum
banyak dimengerti. Secara lembut, dan tekun Mbah Anwar berhasil mengikis
sedikit demi sedikit hal- hal negatif di masyarakat dengan cara dakwah
beliau yang arif.
Perhatiannya terhadap bangsa dan negerinya juga tidaklah kecil. Banyak
pejuang kemerdekaan ketika akan berangkat ke medan perang minta doa dan
rajah kepada beliau. Bahkan ketika Perang Surabaya meletus, beliau juga
ikut terjun dalam kecamuk perang tak berimbang dan bombardir pasukan
sekutu pemenang Perang Dunia II yang diboncengi tentara Nica Belanda. Mbah
Tajab datang di Surabaya memenuhi seruan Resolusi Jihad sebagai kewajiban
bela negara yang dihukumi fardlu 'ain bagi umat islam yang bertempat dalam
radius 90 km (masafatul qoshri) dari Surabaya dan fardlu kifayah bagi yang
berdomisili di luar jangkauan itu. Resolusi Jihad yang difatwakan oleh
Hadlratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari ini menarik para ulama, santri dan
berbagai lapisan ummat islam untuk ikut terjun langsung di medan perang,
perang kemerdekaan yang paling heroik di Indonesia, pertempuran terbesar
yang tidak pernah diperhitungkan oleh kalangan sekutu, adu kekuatan di
luar nalar militer yang melahirkan peristiwa 10 Nopember 1945. Fatwa yang
dicetuskan pada tanggal 22 Oktober 1945 ini ahirnya oleh Presiden Jokowi
pada tahun 2015 lalu ditetapkan menjadi Hari Santri Nasional sebagai
apresiasi negara atas kiprah para kyai-santri dan sebagai bentuk pelurusan
dan penguakan sejarah perjuangan para ulama negeri tercinta ini yang
selama ini banyak dikerdilkan bahkan sengaja ditenggelamkan oleh banyak
pihak.
Sejak awal berdirinya, masjid ini secara amaliyah bercorak syafi'iyah,
karena para kyainya adalah produk pesantren-pesantren tradisionil di Jawa.
Saat sholat Jum'at, ada 2 kali adzan, bahkan ada terjemah khutbah sebelum
khothib naik ke mimbar, untuk menyampaikan 2 khutbah dengan murni
berbahasa arab (mengikuti pendapat gurunya Mbah Anwar yaitu KH. Murtadlo
Makamagung, yang ber _ihtiyath_ tidak memperbolehkan khutbah dengan
terjemah, untuk memahami agama, umat Islam harus ngaji. Ada kitab karya
Mbah Tolo-sebutan KH. Murtadlo, yang berjudul Arrisalah al Murtadlowiyyah,
yang memuat alasan-alasan dan hujjah-hujjah beliau). Model khutbah seperti
ini masih diterapkan sampai hari ini. Setelah sholat jum'at juga dibaca
secara bersama-sama dua bait pujian karya Abu Nuwwas
الهي لست للفردوس أهلا
..... dst. Dulu setelah sholat jum'at masih
dilakukan 'iadah (mengulang sholat dhuhur secara berjamaah), baru di ahir
tahun 70-an i'adah ini ditiadakan, sesuai fatwa mbah KH. Abdurrahman
Panyuran. (Ahda/ Wawan)
Banjararum, Jelang Mentari Terbenam 9 Muharram 1442 H/ 28 Agustus
2020
source : FB Ahmad Damanhury
Posting Komentar